Memenangkan Wacana Publik


Demokrasi adalah sistem yang disusun untuk mewadahi heterogenitas. Para teoretisi konflik, seperti Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse, Lewis Coser, dan lainnya, kemudian menyatakan bahwa konflik adalah bagian yang inheren dalam kehidupan sosial politik dan mengekspresikan heterogenitas tersebut. Konflik menjadi semakin rumit sejalan dengan tingkat kerumitan heterogenitas dalam masyarakat. Salah satu titik perbedaan dalam masyarakat terletak pada keragaman ide, aliran pemikiran dan ideologi, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan, atau semua yang mungkin kita sebut sebagai produk akal manusia.


Oleh karena sifat mayoritas merupakan salah satu ukuran dalam demokrasi, maka pengaruh sebuah pemikiran ditentukan oleh kemampuannya menjadi arus dalam masyarakat. Sebab itu, opini publik menjadi salah satu institusi terpenting dalam demokrasi. Sama pentingnya dengan lembaga legislatif dan lembaga eksekutif. Wacana publik, dengan begitu, harus dimenangkan dulu sebelum kita memenangkan wacana legislasi dan memenuhi lembaga eksekutif.

Haruskah kita mempunyai “media” kalau kita ingin memenangkan wacana publik? Inilah perdebatan yang sering terjadi di kalangan para duat setiap kali diskursus tentang memenangkan wacana publik mengemuka. Saya termasuk yang percaya bahwa tugas memenangkan wacana publik tidak selalu dapat disederhanakan dengan hanya memiliki media. Memenangkan wacana publik adalah seni tentang bagaimana mempengaruhi dan menyusun kerangka pemikiran masyarakat, atau bagaimana membuat mereka berpikir dengan cara yang kita inginkan, atau bagaimana membuat mereka mempersepsikan sesuatu dengan lensa yang kita kenakan kepada mereka?

Dunia Pikiran
Pikiran adalah referensi yang diperlukan masyarakat untuk memberi mereka arah, merasionalisasikan sikap dan tindakan mereka, membantu mereka menentukan pilihan, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, dan memberikan mereka solusi. Tatkala Uni Soviet runtuh di awal dekade 90-an, orang-orang di Barat merayakannya sebagai kemenangan kapitalisme dan ekonomi pasar. Bagi mereka, komunisme tidak lagi sanggup menjawab tantangan zaman yang dihadapi masyarakat. Komunisme mengalami kemarau dan kekeringan yang tidak kunjung selesai manakala negara yang menyangga kemudian kehabisan nafas untuk tetap bertahan.

Maka, syarat pertama yang harus kita miliki adalah kekayaan pikiran, dan ini ditentukan oleh dua hal. Pertama, kekayaan dan orisinalitas referensi. Kedua, kemampuan mengeksplorasi referensi dan memformulasikannya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman. Kita memiliki yang pertama, tetapi kita harus berlatih untuk memiliki yang kedua. Kita mempunyai Qur‘an dan Sunnah, namun kita berijtihad untuk “menemukan mutiara-mutiaranya”.
Syarat kedua adalah struktur pemikiran yang sudah kita formulasikan itu harus kuat dan solid. Soliditas dari suatu struktur pemikiran terbentuk ketika ia mencakup semua bagian yang inheren di dalamnya dan, pada waktu yang sama, mempunyai daya tahan terhadap kritik dari luar dirinya.
Sebuah pemikiran dengan struktur yang solid akan berpengaruh dalam tiga hal. Pertama, pada tingkat kejelasan pikiran dalam benak kita dan pada keseluruhan susunan kesadaran kita. Kedua, pada tingkat keyakinan kita terhadap pemikiran tersebut, yang biasanya selalu tinggi. Ketiga, pada kemampuan kita membahasakannya atau pada daya ungkap yang tercipta dari kejelasan pikiran tersebut. Semakin jelas pemahaman kita terhadap suatu pikiran, semakin sempurna kemampuan kita membahasakannya.

Syarat ketiga adalah kemampuan kita meyakinkan publik. Kemampuan ini sekarang telah berkembang menjadi sebuah pengetahuan baru, yang dalam hal ini orang-orang tidak lagi mempertanyakan kebenaran dari sebuah pikiran, tetapi berpikir bagaimana menjadikannya sebagai “milik” publik.

Syarat ketiga ini bertumpu pada beberapa hal. Pertama, pada penguasaan teoritis terhadap pikiran yang ingin kita sosialisasikan. Kedua, pada penguasaan kita tentang struktur pemikiran orang lain dan varian-varian yang membentuknya. Ketiga, pada kejelian kita dalam menentukan entry point yang tepat untuk melakukan penetrasi terhadap pemikiran orang lain tersebut. Keempat, pada kemampuan menemukan format bahasa yang tepat dengan struktur kesadaran, bentuk logika, kecenderungan estetika kebahasaan, dan situasi psikologis, serta momentum yang mengkolerasi pikiran kita dengan suasana mereka. Inilah penjelasan dari sabda Rasulullah saw., “Berbicaralah kepada orang lain sesuai dengan tingkat pemikiran mereka.”

Fenomena Ikhwan
Mungkin tepat untuk menjadikan Ikhwanul Muslimin sebagai sebuah contoh. Banyak pengamat mengklaim kegagalan Ikhwanul Muslimin ketika gerakan itu –meskipun telah memasuki usia tiga perempat abad– tidak pernah mampu menguasai sebuah negara dan merealisasikan cita-cita politiknya.

Saya kira mereka salah. Kalau orang menjadikan Mesir sebagai ukuran, barangkali memang Ikhwan belum berkuasa di negeri itu. Akan tetapi, kalau “akal dunia Islam” yang menjadi ukuran, maka kita harus mengatakan bahwa pustaka dunia Islam saat ini dipenuhi oleh para pemikir Ikhwan. Dalam dunia pemikiran Islam, mereka semua telah menjadi referensi. Bahkan, mereka kemudian menjadi representasi dari peradaban Islam moderen, yang dari sana Barat menentukan cara mereka memahami gejolak kebangkitan dan dinamika pemikiran dalam dunia Islam. Itulah kemenangan yang hakiki, yang memberikan nafas bagi gerakan ini dari balik jeruji besi dan tiang gantungan.

Namun demikian, tetaplah harus ditegaskan bahwa tugas memenangkan wacana publik menuntut kita memiliki media. Akan tetapi, memiliki media saja tetap tidak cukup untuk menjalankan tugas ini. Yang jauh lebih penting adalah memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya: kuasailah kerangka pemikiran Islam, pelajari cara mereka berpikir, tentukan pintu masuk ke dalam akal mereka, pilihlah format bahasa yang sesuai dengan situasi mereka, dan berbicaralah pada saat yang tepat.

Menjadi issuemaker mungkin lebih strategis ketimbang sekadar memiliki media. Tetapi, menjadi keduanya tentu saja lebih sempurna.