Kado Terakhir buatmu


Sinar mentari pagi mengintip dari celah – celah jendela iqbal. Sementara itu, penghuni kamar masih hanyut dengan lantunan muratalnya. Lidahnya menari – nari mengikuti makhraj dan tajwid. Fokus matanya tak lepas dari sebuah mushaf kecil yang amat lusuh. Sejelak, sudut mata iqbal mengintip jam tangannya. Kemudian, tak berapa lama diciumnya mushaf kecil itu penuh ta'dzim.

Iqbal berjalan menghampri jendela kamar, kemudian perlahan membukanya. Pagi yang indah. Dihirupnya nafas dalam – dalam. Musim dingin telah berakhir. Udara pagi tidak lagi membekukan pori-pori. Iqbal kembali menghirup nafas panjang. Segar sekali, mengalir sampai ke relung-relung jiwa. Oh, tak ada yang lebih indah dari musim semi.
Tak jauh dari tempat iqbal berdiri, hal yang sama juga terjadi. Perlahan jendela sebuah kamar dari imarah di tingkat empat itu terbuka. Tepat di depan iqbal. Seorang banat Mesir.
Iqbal segera ghadul bashar dan menjauhkan diri dari jendelanya. Tiba –tiba saja ia jadi tidak berselera untuk berlama-lama menikmati pagi.
“Si bidadari pagi kembali terbit dari ufuk timur” keluhnya setengah berteriak.
Tak seperti pagi biasanya, kali ini Iqbal bingung. Ia berfikir sejenak akan apa yang baru dilihatnya barusan. Tentang Si Bidadari yang setiap pagi dilihatnya. Sekalipun sudah dari tiga bulan yang lalu si Bidadari itu muncul, sekalipun Iqbal belum pernah bicara dengannya. Bahkan, namanya saja Iqbal tidak tahu. Dan mungkin tidak akan pernah tahu. Bagi Iqbal cukuplah ia menjulukinya dengan sebutan Bidadari pagi, tak lebih dari itu. Iqbal mulai melamun hingga ia disadarkan oleh kata – katanya sendiri “iqbal... iqbal ! sadar woi... ente ngak mungkin bisa jadian sama orang Mesir ! mang nya stok Andunisiyin sudah habis apa ?! “
***
“ Halo... ya, ini lagi di Mith Ghamr, ya insya Allah abis ini langsung pulang kok. Tunggu aja dirumah ya...” Iqbal masih sibuk dengan telpon selulernya. Andi, teman Iqbal masih bengong dengan bahan belanjaannya. “ Ya, sampai nanti ya... Wa’alaikumussalam “ Iqbal menutup handphone lipatnya.
“ Ndi, ana pulang duluan ya, Anak – anak kaya’ nya lagi butuh ana nih untuk mendekor” Iqbal menepuk pundak Andi.
“ Ya... telat dikit ngak pa – pa kali. Kan acaranya besok abis Ashar. Mendekor mulai nanti malam juga bakalan sempat kok.. “ Andi mulai kecewa.
“ Ya sih, Cuma ngak enak aja sama anak – anak. Sekarang mereka mungkin lagi pada nungguin ane. Ente ngak pa – pa kan belanja sendiri ?“ Iqbal memelas.
“ Ya udah lah. Tau nya gini, ana pasti nolak jadi seksi konsumsi” Andi kecewa. Ia menyodorkan dua kantong belanjaan ke Iqbal.
Iqbal segera meninggalkan Andi yang masih bengong. Ia menenteng Beberapa bahan masakan untuk acara kajian DPD besok. Ia harus segera pulang membantu teman –temannya mendekorasi backround. Supaya acara besok jadi lebih semarak.
Iqbal masuk kesebuah angkot chevrolet tujuan Tafahna. Ia masih sibuk dengan bahan belanjaannya yang lumayan banyak. Maklumlah, Angkot Chevrolet bangkunya memanjang kebelakang. Jadi lumayan susah mengangkat barang. Yang datang awal biasanya duduk dibangku paling dekat ke pintu. Tapi karena Iqbal paling akhir, harus duduk paling ujung. Ia kewalahan mengangkat barang melewati ibu – ibu berbadan raksasa. Hingga akhirnya Iqbal sadar siapa yang duduk persis didepannya. Bidadari pagi !
Angkot mulai berjalan. Sebisa mungkin Iqbal tidak melihat ke wanita Mesir yang ada didepannya. Apalagi kalau sampai ngobrol. Apa nanti kata penumpang yang lain. Apalagi disudut dekat pintu duduk seorang berpenampilan syaikh dengan jenggot panjang. Iqbal sering melihat beliau waktu talaqi dulu di Masjid Tauhid Mith Ghamr.
Mobil civrolet yang ditumpangi Iqbal sudah sampai di Dindidh. Beberapa orang penumpang sudah turun. Termasuk bapak setengah baya berjenggot panjang tadi. Iqbal jadi semakin gelisah. Sekarang didalam angkot tinggal Iqbal, dua orang banat Mesir yang duduk dekat pintu dan seorang bapak tua yang terkantuk – kantuk di tempat duduk paling ujung. Iqbal memilih pura – pura tidur berdua dengan sibapak tua. Nanti kalo hampir sampai di Tafahna ia segera bangun.
“ Wua dah agnabi bi sakin gambuki... ?”
“ Sstt.. aiwa ana ‘arif”
Iqbal mengangkat sedikit kepalanya. Melihat dua orang banat Mesir yang sedang berbisik – bisik. Iqbal merongoh sakunya. Handphone-nya bergetar. “Halo, ya ini bentar lagi juga nyampe, ana dah sampai Dindith...”
Begitu Iqbal selesai menutup telponnya, “Sstt ...“ terdengar suara sapaan dari dua banat tadi.
“ inta agnabi bi sakin andi ustadz Zakariya, shah ? “
“ Fakkirni ? ana bi sakin gambuku ‘ala tuul “
Iqbal kikuk. Si Bidadari pagi mulai melontarkan pertanyaan yang sebenarnya dari tadi ia khawatirkan. Iqbal menoleh sekilas, kemudian mengangguk.
“ Ana ismi Zahra. Inta ?”
Iqbal semakin kikuk. Tiga tahun ia di Mesir dan ini kali pertamanya ia berbicara dengan banat Mesir. Waktu di indonesia ia juga jarang berkomunikasi dengan makhluk yang namanya wanita. Apalagi ‘pacaran’ yang tidak pernah singgah dalam hidupnya.
Keringat dingin Iqbal mulai keluar. “ Muhammad” jawab Iqbal singkat. Dilanjutkan dengan senyum tipis.
Tak terasa Chevrolet tua sudah sampai di Tafahna dan perlahan – lahan mulai berhenti. Bidadari pagi yang ternyata bernama Zahra itu kembali menoleh kearah Iqbal. Iqbal yang kebetulan melihat kearahnya segera memasang senyum sembari memberi isyarat mempersilahkan mereka berdua untuk turun duluan. Iqbal sengaja berlambat – lambat waktu membayar ongkos angkot menunggu sampai dua banat itu benar – benar sudah jauh ditelan keramaian Mahasiswa – mahasiswi yang baru pulang kuliah.
***
Iqbal merebahkan diri diranjang kecilnya. Sejak dari tadi bibirnya tersenyum. “Ternyata namanya Zahra” berkali – kali ia mengulang kata – kata itu dalam hati. Iqbal menasehati dirinya sendiri “Sudahlah Iqbal ! ini sudah lebih dari cukup ! Buat apa berharap pada sesuatu yang kita sendiri tidak ingin itu terjadi. Apakah ente sanggup nikah sama orang Mesir ? ngak kan ?! Abi sama Umi juga ngak bakal ngijinin. Jadi untuk apa berharap yang bukan – bukan ?“. Entahlah... Bidadari Pagi. Hanya untuk mengetahui namanya saja, Ia bahkan tidak berani bercita – cita.
“ Iqbal, dah selesai masternya ? biar kita gunting nih ?” seorang sahabat Iqbal nyelonong langsung kekamarnya dan membuyarkan semua lamunannya.
“ Oh iya, tinggal di print kok “ Iqbal segera bangun.
***
Sejak kejadian di Chevrolet tua itu, entah mengapa Iqbal jadi sering cilingak – cilinguk ke jendela. Ia pun heran dengan tingkah lakunya yang rada – rada eneh. Ia jadi betah dikamar dan sering senyum – senyum sendiri. Si Bidadari pagi juga berubah sikap. Yang dulunya cuek, sekarang jadi ramah senyum. Kalau dulu, begitu beradu pandang dengan Iqbal, mereka berdua saling ghadul bashar, cepat – cepat mengalihkan pandangan kearah lain, sekarang jika beradu pandang, mereka saling tersenyum. Senyum tipis walaupun hanya sebentar. Setelah itu keduanya menjauh dari jendela dan sibuk dengan fikiran masing – masing. Berbulan – bulan itu terjadi tanpa ada kata – kata yang bisa terucap.
Tak terasa, Musim panas pun menjelang. Ujian term II juga tinggal seminggu lagi. Bagi Iqbal, tempat bidadari paginya hanya diwaktu pagi hari. Tidak sampai siang, sore, apalagi malam. Ia sekarang harus lebih fokus dengan muqorror nya.
Iqbal kembali membuka maddah Qodhoya Fikh tingkat tiganya. Ia kembali mengulang – ulang Pembahasan seputar asuransi dalam islam. Berkali – kali ia menghela nafas panjang karena banyak mufradat yang tidak diketahuinya. Yang bisa ia lakukan hanya menebak – nebak, dengan alasan kamusnya dipinjam teman..
“ Braak...!” Iqbal terkejut. Pintu jendelanya ditampar angin. Angin musim panas yang kencang selalu saja membuat jendelanya terhempas – hempas. Seketika itu juga hafalan yang baru saja dipelajarinya terbang entah kemana.
Iqbal mulai jengkel dan geram. Segera ia membuka jendelanya dengan kasar. Dengan setengah mengomel ia membuka paksa daun jendela kamarnya itu. “Ops..” langkah kasarnya tiba- tiba saja terhenti dan lenyap. Seorang Bidadari dengan wajah bak pualam melihat kepadanya. Sekilas ia melihat ke Bidadari itu. Ia membaca tatapan bidadari itu. Seakan – akan ia mengerti kemarahan Iqbal dan dan seakan – akan berkata “ fi eh ? sallu ‘alan nabiy...”
Iqbal mengambil pensil nya untuk menyanggah sudut jendela nya agar tidak dihempas angin lagi. Ia tidak ingin berlama – lama diperhatikan banat Mesir itu. Sepertinya pensil Iqbal terlalu kecil untuk jadi sumbatnya dan akhirnya malah jadi jatuh kebawah. Bidadari itu tertawa kecil. Iqbal jadi semakin kikuk. Ia mencari – cari sebuah sumbat jendela yang lebih besar dari pensil sedikit.
“Sstt...” terdengar panggilan dari arah Banat Mesir itu. “ Garrib dah !” terlihat Si Bidadari sedang berbicara kepadanya. Ditangannya terlihat sebuah jepitan jemuran. “Cerdas !” kata Iqbal dalam hati. Sepertinya Jepitan jemuran itu lebih cocok untuk sumbat jendelanya. Iqbal mengangguk.
Bidadari itu melemparkan jepitan jemuran itu ke jendelanya. Namun tenaganya terlalu lemah. Sehingga berkali – kali ia mencoba melempar namun tidak sampai. Setiap kali lemparannya gagal, ia tertawa. Mungkin ia mentertawakan kelemahannya sendiri. Iqbal juga tertawa.
Tertanya tuan rumah Iqbal Ustadz zakariya berada dibawah dan menatap Iqbal tajam. Aduh... Iqbal segera memberi isyarat kepada Banat Mesir itu “ Kifayah... Baz... khalas...ya Zahra”. Iqbal panik.
Zahra segera menyadari kalau mereka berdua sedang diperhatikan. Ia segera masuk ke kamarnya. Iqbal yang serba salah mengangkat tangan penuh hormat seraya tersenyum tipis kepada tuan rumahnya.
“Aduh... bodohnya ana. Bisa – bisa nanti kena marah sama Ustadz Zakariya” batin Iqbal. Terlintas dalam fikirannya kalau – kalau karena kejadian ini ia diusir dari rumahnya. Atau tersebar opini kalau orang indonesia di Tafahna sudah mulai mengganggu banat Mesir. Jelas ini bakal merusak citra tulabah indonesia.
Sampai malam tiba Iqbal tidak berani keluar rumah. Bahkan untuk shalat ke Masjid sekalipun. Ia khawatir bertemu dengan Ustadz Zakariya tuan rumahnya. Walaupun mungkin tidak akan dimarahi, Cuma ia segan saja. Karena selama ini Iqbal terkenal berakhlak baik dan santun kepada Ustadz Zakariya dan keluarganya.
***
Pagi yang cerah. Iqbal sengaja pagi itu berlama – lama di depan jendelanya. Mushaf kecilnya belum lepas dari genggaman tangannya. Ditatapnya sebuah jendela tepat didepan jendela kamarnya. Sepertinya Bidadari paginya masih dialam mimpi. Diliriknya jam dinding, pukul enam pagi.
Waktu yang menurut pendapatnya paling tepat untuk melihat Bidadarinya adalah saat pagi – pagi begini. Karena setiap pagi selalu sepi. Mungkin tidak akan ketahuan Ustadz Zakariya karena ia hanya ingin melihat saja. Tidak lebih dari itu. Untuk mengobati kerinduannya setelah beberapa hari ini ia tidak lagi melihat Sang Bidadari setelah peristiwa lempar – lemparan jepitan jemuran itu.
Tiba – tiba jendela yang dari tadi tak lepas dari perhatian Iqbal perlahan terbuka. Iqbal berisiap – siap memasang senyum seindah mungkin. Munculah sesosok yang dinanti – nantikannya. Berwajah putih bersih. Tanpa sedikitpun dibumbui kosmetik. Sungguh kecantikan yang alami. Matanya masih sembab, mungkin baru bangun tidur. Tapi bagi Iqbal, ia tetap cantik.
Wanita itu melirik Iqbal kemudian tersenyum manis. Iqbal terpesona. ia juga tersenyum. Sesaat kemudian Iqbal berbalik. “Sudah... cukup, Iqbal !” seru batinnya.
“ Sstt... Istanna, Muhammad !” perlahan terdengar panggilan suara bidadarinya. Langkah Iqbal tertahan. Ia berbalik kembali melihat Bidadarinya.
“ ‘andak mubail ?” suaranya setengah berbisik. Iqbal mengangguk. Hatinya mulai cemas.
“ kam ?” lanjutnya sambil menggelengkan kepala.
Iqbal bingung. Bagaimana mungkin ia memberikan nomor handphone nya kepada wanita Mesir ini. “Untuk apa, Iqbal..? untuk apa lagi kalau bukan untuk pacaran... “ batinnya masih mengingatkan. Iqbal masih bimbang. Ia tatap bidadarinya sekali lagi. Sang bidadari kembali tersenyum manis. Hati iqbal luluh juga. karena senyuman Bidadarinya.
“ zero sittasyar taltah arba’...” suara Iqbal masih ragu. Si Bidadari buru – buru mengeluarkan hanphone nya. Tersirat senyum puas diwajahnya. Iqbal tersenyum tipis.
Zahra masih ingin berbicara dengan Iqbal. Terlihat ia ingin mengucapkan sesuatu. Namun dibawah imarah mereka lewat seorang bapak paruh baya. Ia mengeluarkan himar nya dari kandangnya. Zahra mengurungkan niatnya. Ia memberi isyarat dengan tangannya. Mengacungkan jempol dan kelingkingnya seperti orang menelpon, tersenyum kemudian meninggalkan jendela. Iqbal tersenyum. Apa mungkin banat yang menelpon banin ? apa dia seberani itu ? Iqbal heran sekaligus penasaran.
Benar saja, tidak berapa lama kemudian, handphone Iqbal berdering. Jantung Iqbal berdegup kencang. Dijawab atau tidak? Batinnya mengingatkan “Iqbal ! Sadar Iqbal ! ini sudah nyata jeratan iblis. Buat apa ini semua ? apa manfaatnya jika ente jawab telpon ini ?”
Namun ada juga bisikan lain “ Iqbal ! buat apa tadi ente ngasih nomor telpon kalau ternyata ente ngak mau mererima telponnya ?”
“ tidak ada salahnya mencoba...”
“ Hanya sebatas telpon kok. Cuma ngobrol biasa “
Handphone Iqbal berdering lama. Dan akhirnya mati. Iqbal menarik nafas lega. Syukurlah... Tapi kalau dia menelpon lagi bagaimana? Iqbal semakin bingung. Bagaimana nanti kalau handphone.. (duh afwan.. sedang dalam proses pembuatan)