Bersama Embun Pagi


“Kring...” weker mungilku mulai memekik. Sekilas kulirik benda kecil itu, pukul enam. Dengan sedikit malas kusambar bir sisa semalam, kemudian melangkah menuju jendela.
Kubuka jendela kayu yang hampir copot engselnya itu. Ah... indahnya pemandangan pagi. Kuhirup udara segar sambil sesekali meneguk bir. Pemandangan pagi Tseung Kwan memang selalu indah. Bukan hanya Tseung Kwan. tentu ada yang lebih menarik dari sekedar pemandangan alam di sebuah kampung orang miskin ini. ia adalah bidadari pagi-ku.

Mataku tak lepas dari sebuah rumah tua kecil yang tepat dibawah tempat kosku ini. Tempat kos yang baru seminggu kutempati. Akhirnya yang kutunggu keluar juga. Seorang gadis dengan kain panjang membelit di kepalanya melangkah keluar dari rumahnya. Tangannya memegang sebuah rantang. Ia tampak bergegas kesebuah warung yang tidak jauh dari rumahnya. Kemudian kembali dengan rantang penuh berisi bubur ayam.
“Cpret!” satu gambar berhasil di tembak handphone ku. Kutatap dalam-dalam. Hasilnya lebih bagus dari kemaren. Walau objek dan backround-nya sama. Seorang gadis dengan kain panjang yang menutup kepalanya.
Kulihat ‘model’ku masuk kedalam rumahnya. Kembali kuhirup nafas panjang. Berarti aku harus sabar sampai besok pagi. Moment berharga yang hanya bisa kunikmati pagi hari saja. Kualihkan objekku mencoba menikmati pemandangan pagi kembali. Namun tiba-tiba saja pemandangan pagi itu menjadi hambar. Kembali ku terjang ranjang kapuk untuk melanjutkan tidurku.
“Biip!” Handphone ku menjerit. Siapa sih yang nelpon pagi-pagi begini? Baru saja mataku terpicing.
“Andi. kemaren lu sift malam?” masih samar-samar kudengar suara sobatku dari telpon.
“Ada apa sih Jem, tumben pagi-pagu lu nelpon?” balasku.
“Ndi, semalam Bar lu kena kan?” aku masih ngak ngerti.
“Kena gimana?” tanyaku.
“Ya Elu, semalam polisi ngerazia semua bar di Kwan im. Masa lu ngak tau sih?” kesadaranku pulih seratus persen.
“Sumpah gua ngak tau. Soalnya semalam gua sift siang” balasku.
“Mending lu ke tempat gua sekarang, Si Paku kena tembak” mataku terbelalak.
“Apa?”
“Iya, razia polisi semalam cuma Si Paku yang bisa lolos, pahanya ketembak. Anak-anak yang lain kena tangkap semua. Cepat kesini, gua tunggu!” sejenak ku termenung. Namun dengan sigap kusambar sebuah jaket hitam kumal. Kemudian dompet, kunci mobil, dan juga sebuah pistol.
Kuparkir mobilku di depan sebuah ruko kosong. Tempat berdiam sobatku, Jemmy. Kupercepat langkahku menuju pintu belakang, karena pintu depan memang selalu dikunci.
Di dalam kulihat Jemmy sedang sibuk membalut paha Si Paku dengan selembar kain.
langkahku tehenti. Jemmy menoleh dan menatapku tajam. “mm...Sori Jem” ujarku basa basi.
Jemmy menghisap rokoknya. Ia bangkit dan... “buk!” sebuah tinju mendarat dipelipisku.
“Kemana aja lu semalam? Hah!” Jemmy membentakku. Aku hanya diam.
“gue heran ama lu. Akhir-akhir ini napa lu ngak mau sift sampe pagi?” suara Jemmy masih tak kalah nyaringnya.
“Gua... Gua, tempat tinggal gua kan jauh Jem” kilahku.
“Lagian ngapain lu tinggal di ujung kampung. Lu mau menghindar ya dari kita?”
Makian Jemmy hanya kujawab diam.

***

Kuhempaskan tubuhku disebuah kursi rotan tua yang rapuh. Sesuatu minta keluar dari saku celana jens ku. Rokok, ya... percaya atau ngak, rokok bisa mengobati rasa sedih dan menenangkan jiwa. heh... entahlah...
Ku celongokkan kepalaku sedikit dari ujung balkon rumah kos ku. Kembali kutatapi rumah tua bidadari pagi-ku.
Apa yang kucari disini? tinggal dirumah tua yang reot hanya untuk melihat seorang wanita yang namanya saja aku tidak tahu.
Sampai kapan aku terus begini? Bahkan sedikit keberanian untuk menghampiri wanita itu-pun tidak kudapatkan. Puluhan Gengser bergolok bisa kuhadapi. tidak gentar sedikitpun. tapi bila berhadapan dengan wanita berkain panjang itu bak _______ tersiram air. kuncup!
Dua minggu yang lalu, seorang wanita berkain panjang itu hampir dirampas kehormatannya. Hampir saja! Geng Timur yang menjadi musuh bebuyutan ku hampir saja menodai wanita itu. Mereka semua kuterjang dengan sepeda motor. Awalnya bukan berniat menolong, karena setiap melihat geng Timur tangan ku selalu gatal untuk membuat kepala mereka seperti ondel-ondel.
Untuk tiga orang tak butuh waktu yang lama melumat-lumat mereka. bahkan tiga orang anak-anak Geng Timur itu tidak sempat kabur. Entah mati entah pingsan yang jelas ada yang patah tulang punggung dan tulang lehernya.
Setelah puas, kualihkan pandangan ke wanita tadi. tampaknya ia mau berterima kasih. peduli amat! tak perlu kuperlihatkan diriki seperti seorang hero. karena aku memang bukan hero, tapi penjahat. Helm ku pun rasanya tak perlu ku buka karena waktu itu kurasa ia tak perlu tahu wajahku. pendapat yang sekarang kusadari adalah pendapat terbodoh yang pernah kulakukan. Andai saja waktu itu sempat kenalan, trus jalan-jalan.
Setelah kejadian itu, entah mengapa wajah wanita berkain panjang itu terus melekat di otak ku. wajahnya begitu jernih. berlebihan mungkin jika kukatakan kalau wajahnya memancarrkan cahaya. tapi begitulah kenyataannya. sekali melihat wajahnya membuatku tersihir. hingga pada puncaknya aku mencari wanita itu. kembali kutelusuri sendiri. dan akhirnya dapat! sampailah aku disini. dirumah tua reot. tapi lebih mendingan daripada aku tinggal dirumah lama yang lumayan bagus, tapi hatiku tersiksa (afwan lagi proses pembuatan..)