Aladdin Travel

Kutapaki langkahku dipinggir Nil Zagazig. Angin malam musim dingin begitu menusuk tulang. Kusembunyikan ujung tanganku di ketiak jaket tebalku. Ah.. sudah sampai. Terlihat ‘Aladdin Travel’ tujuanku.
“Law samahti, ‘andi rihlah yom sitta..” kucoba berbicara dengan nada selembut mungkin. Asal jangan kedengeran memelas saja. Karena memang posisiku saat ini adalah sebagai pemohon. Semoga mereka bisa mengabulkannya, mengundur hari penerbanganku ke Indonesia.
“Hadratak ‘aiz yom adde ?” tanya si mbak itu ramah.
“ihdasyar, istnasyar, talattasyar.. kidah.. yom tasyrik.” Jawabku setengah bergurau. Ia pun tersenyum.
Setelah menunggu lebih setengah jam, akhirnya dapat juga hasilnya. Penerbanganku dari Kairo ke Kuala Lumpur bisa di undur. Semula tanggal 6 menjadi tanggal 13. “lakin eh.. tadfa’ ghuromah” buru-buru si Mbak tadi menambahkan. 400 Pound !
Kata-kata ku terhenti sejenak. Denda Empat Ratus Pound ?! Bukannya kemaren dia bilang 50 Dolar?
“ghuromah dah min syirkah, misy min ‘andina” ujar si mbak itu.Tampaknya tidak bisa ditawar lagi.
Ah.. rasanya tidak sanggup kubayar sebanyak itu. Kalau di hitung-hitung, duit di saku mungkin saja cukup. Tapi aku tak terbiasa berjalan jauh seperti ini dengan duit pas-pasan. Kita juga tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Apalagi ini kali perdana aku ke Kuala Lumpur. Takutnya malah ga’ bisa pulang dari Kuala Lumpur ke Indonesia nanti. Duit lebih itu mesti. Untuk jaga-jaga dan hati-hati kalau nanti terjadi apa-apa.
Ya udah, Deal. Berangkat tanggal 6 ajah. Saat itu kuberharap moga ini keputusan yang tepat. Kutelpon Kak Riko, memberitahukan hal ini. Mafi ayi syaik musykilla. Kemudian kuberanikan diri menelpon Wati.
“Wati.. kak mohon maaf bana yo..” suaraku mulai berat. Entah gugup atau sedih, wallahu ‘alam. “Apo tu kak ?”
“Kak ndak bisa ikut walimah Wati do. Sabananyo waktu kak nelpon wati partamo dulu, akak lah ma hajaz tiket, dan waktu itu ka kak undur. Cuma waktu itu kan alun jaleh awak baraleknyo tanggal bara. Jadi waktu itu alun jadi ba undur lai. Baru tadi kak cubo mangundur tiket nyo, ternyata ndak bisa lai do”
Ndak bisa ? ah.. ternyata dia pintar menerka. Masalahnya pada ghuromah.
“Bara mambayia dando kak?”
Tiba-tiba saja lidahku kelu. Tak bisa kujawab apa-apa. Ia kembali mengulang pertanyaan yang sama.
“Ampek ratus dolar.. ehh.. Ampek ratus pound” jawab ku gugup.
“Kak, santa lai Wati hubungi akak liak yo, Wati samo-samo Rahmi kini. Bia Wati ngecek-ngecek samo Rahmi dulu” kemudian ia memberi salam dan menutup telepon.
Sesampai di Hay Sabi’ kembali ku berbicara via telpon “Akak, Wati mohon bana akak jan pulang ndak. Wati baralek disiko ndak do urang tuo do akak lah urang tuo Wati. Tu ndak lo ka hadir kak. Mengenai ghuromah tadi bia Wati samo Rahmi yang bayia. Biasuak Wati agiahan pitinyo. Tapi jan ngecek-ngecek ka Kak Riko ndak kak”
Pipiku panas serasa kena tampar. Mana mungkin dia yang akan membayarkan tiketku. Hati kecilku juga berbicara. Mana mungkin kutinggalkan adikku yang tiga hari lagi akan menikah dengan sahabat terdekatku. Bagaimana mungkin aku tidak akan hadir ? Apalagi kepulangan ini adalah pulang yang kemungkinan besar tidak akan kembali lagi kesini. Serasa ingin tengah malam itu juga aku kembali lagi ke Zagazig dan mengundur tiket itu.
***
Pagi-pagi, Roni dan agil sudah sibuk menghidangkan burger buatan mereka. Roni sebagai orang yang mengaku berpengalaman, mengajarkan anak-anak bagaimana menyusun isi burger yang benar. Mulai dari lansyun, trus telur dadar, jubnah, cabe dan tomat, kemudian terakhir kali diolesi sambal. Kami semua memperhatikan dengan khidmat.
“Telpon dari kak Riko, kak” Agil menyerahkan handphone-ku.
“Copek la kasiko, wak mulai acara lai..” kata suara diseberang sana.
“Iyo iko lah ka barangkek na lai kak..” jawabku berseloroh. Diikuti tawa anak-anak.
Baru saja percakapan via telpon antara aku dan kak Riko selesai, Agil segera angkat suara “ itu akak tadi deh yang ma nelpon” katanya padaku. Aduuhh.. anak-anak kembali tertawa garing.
***
Aku, Ade dan Roni berjalan bertiga menuju Sehati Restorant. Kuceritakan kepada mereka mengenai masalah tiket ini. Solusi yang kutawarkan saat itu adalah, pertama menjual tiket itu dengan harga murah kalau ada yang akan pulang. Dan kedua, minjam duit Ade dulu 400 Pound untuk bayar ghuromah tadi. Sebenarnya aku bisa nelpon orang tua, minta dikirimkan uang lagi untuk bayar ghuromah, namun tentu saja itu tidak etis dan jauh dari pribadiku.
Ternyata kedua solusi itu ditolak. “Insya Allah kito samo-samo nanti akan bantu” jawabnya.
Dari kejauhan terlihat Bang Rafi’ baru keluar dari mobilnya. Segera ku ajak anak-anak untuk menghampiri beliau. Kuyakin beliau sebagai broker tiket dan orang yang paling berpengalaman soal travel di seantero Kairo ini, tentu saja pasti bisa memberi pencerahan tentang masalah tiket ini. Benar saja ternyata !
Ghuromah biasanya segitar 400 Pound-lah lebih kurang. Pengunduran atau peng-cancel-an tiket selambat-lambatnya sehari sebelum hari keberangkatan”. Setidaknya dua informasi ini membuatku berjalan tergesa-gesa menghampiri anak-anak.
“Ambo harus baliak kini juo ka Zagazig” kataku pada mereka.
Lama kutatap jam yang ada di handphone-ku. Pukul 16.15! empat tambah tiga? Ah.. seakan tidak percaya aku saat itu kalau hasilnya tujuh. Sekarang pukul empat lewat.. dari Kairo ke Zagazig, ada 3 jam. Itu kalau lancar, kalo sedang apes, bisa jadi 5 jam! Qitor ? apa ada qitor berangkat jam segini? Sementara Travel Aladdin yang di tuju di Zagazig tutupnya ba’da maghrib! Aduuhh.. jika aku sampai di Zagazig lewat dari jam tujuh, berarti semua ini gagal sudah !
Benar-benar buntu otak ku saat itu. Apa bisa aku tiba di Zagazig saat itu kurang dari 3 Jam ?! hampir mustahil rasanya. Travelnya Tutup ba’da maghrib ?! Hahh.. jam 5 saja sudah maghrib, apalagi paling cepat aku sampai di Zagazig nanti jam 7. Belum lagi tugasku sebagai sekretaris dalam kepanitian Walimatuh ini yang mencakup sebagai koordinator dekorasi dan dokumentasi. Bahan-bahan untuk membuat undangan harus dibeli hari ini ke Samir wa Ali. Tidak ada waktu lagi, karena waktu membuat undangan dari A sampai Z hanya diberi waktu 2 hari saja! Badanku lemas, otak ku benar-benar tidak bisa berfikir.
“Kak, tinggakan se lah soal undangan ko dulu, rancak akak kajakan ka Zagazig kini” Usul Roni.
“Pai lah lai kak !” usul Agil.
“Yo itu hape ambo di kak Riko lu a” jawab ku. Kulihat Kak Riko masih sibuk berbicara dengan Bang Mukhyar soal transportasi dan resepsi pernikahan Wati.
“Abih pulsa nampak eh “ Ade masih aja bisa berseloroh dalam situasi begini.
Kutitipkan saja pada Roni untuk membeli bahan-bahan undangan ke Samir wa ‘Ali. “Pena ! kertas !” kataku panik. Ade buru-buru mengeluarkan pena dan kertas. Langsung saja kucatat bahan-bahan undangan yang akan dibeli Roni.
“Karton warna hijau.. Stiker empat buah..” pena ku terhenti. Kucoba mengingat-ingat. Ahh.. semua bahan-bahan yang akan dibeli telah kucatat di handphone. Akhirnya handphone ku diminta Agil ke Kak Riko.
Kak Riko berpindah handphone ke handpone Ade. Banyak sekali yang..
to be continue...